RI Bisa Boncos Rp 600 T Jika Iran-Israel Perang dan Kerek Harga Minyak

1 week ago 2
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Nilai impor minyak Indonesia diproyeksikan membengkak jika terjadi perang terbuka antara Iran dan Israel. Kondisi ini berpotensi menambah beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga Rp 600 triliun.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan, memanasnya geopolitik kedua negara itu berpontensi membuat harga minyak dunia melonjak hingga US$ 60 karena Iran menguasai Selat Hormuz yang memegang peran penting dalam perdagangan. Selat Hormuz berpengaruh terhadap 40-50% perdagangan minyak global.

"Ketika ada perang terbuka antara Iran dan Israel, itu kalau sampai terjadi perang terbuka, kenaikan harga minyak itu bisa sampai US$ 60," kata Komaidi dalam acara Media Briefing bertema Penguatan BUMN Menuju Indonesia Emas, di Sarinah, Jakarta, Selasa (10/9/2024).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Harga minyak dunia saat ini berada di kisaran US$ 72 per barel untuk minyak mentah berjangka Brent. Dengan demikian, apabila terjadi peningkatan harga hingga US$ 60, maka harga minyak mentah bisa tembus ke posisi US$ 132 per barel.

Ia memberikan simulasi, setiap kenaikan harga minyak US$ 1 per barel, imbasnya mencapai Rp 10 triliun terhadap APBN. Dengan demikian, apabila kenaikan harga minyak jika terjadi perang terbuka mencapai US$ 60, maka diperkirakan imbas terhadap APBN mencapai Rp 600 triliun.

"Jadi setiap naik US$ 1, itu belanja negara akan naik sekitar Rp 10 triliun. Tadi kalau perang terbuka kan US$ 60 dolar, US$ 60 dolar kalau US$ 1 naik Rp 10 triliun. Rp 600 triliun peningkatannya. Setara dengan mandatory untuk pendidikan kita," ujarnya.

"Jadi kalau sampai perang terbuka antara Israel dengan Iran kemarin, itu resiko APBN yang harus ditanggung untuk menambah subsidi, itu besarnya paling tidak sekitar Rp 600 triliun," imbuhnya.

Pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi energi 2024 sebesar Rp 189,1 triliun yang mencakup subsidi Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu (JBT), LPG Tabung 3 Kg dan Listrik. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp 25,8 triliun dialokasikan untuk subsidi JBT.

Menurutnya, Indonesia termasuk ke dalam net importir atau price taker. Dalam hal ini, Indonesia mengkonsumsi setidaknya 1,5 juta barel dari total volume pasar minyak dunia per hari sekitar 95 juta barel. Sebagai price taker, Indonesia tidak punya daya untuk mengontrol harga. Karenanya, apabila harga minyak dunia meningkat signifikan, dampaknya akan sangat luar biasa terhadap APBN.

Berkaca pada potensi beban ini, menurutnya Indonesia perlu segera move on ke energi yang lebih ramah lingkungan, tentunya yang diproduksi di dalam negeri. Namun tantangan lainnya yang menanti ialah penggunaan BBM fosil yang terbilang masih angat tinggi.

Ditambah lagi, perusahaan-perusahaan energi besar di Indonesia seperti PT Pertamina (Persero) hingga PT PLN (Persero) secara bisnis dominannya bergerak di energi fosil. Misalnya saja di Pertamina, ia mengutip laporan keuangan perusahaan 2019-2023 yang menunjukkan 98-99% pendapatan masih bersumber dari fosil. Karena itulah, proses transisi energi perlu diperhitungkan dengan baik.

"Saya sering sampaikan ke teman-teman Pertamina, PLN, Anda juga harus hati-hati karena nature-nya atau root-nya Anda ini adalah perusahaan yang berbasis fosil. Jadi jangan keburu-buru lompat (karena berpotensi mempengaruhi keuangan secara signifikan)," kata dia.

Data impor minyak di halaman berikutnya.

Read Entire Article