Hakim Sidang Harvey Moeis Heran PT Timah Beri Peluang ke Perusahaan Pesaing

18 hours ago 3
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Jaksa menghadirkan staf Direktorat SDM PT Timah Tbk, Eko Zuniarto Saputro, sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengelolaan timah yang merugikan keuangan negara Rp 300 triliun. Dalam sidang, hakim heran PT Timah memberi peluang ke perusahaan pesaing terkait pengumpulan bijih timah.

Perusahaan pesaing PT Timah itu salah satunya adalah PT Refined Bangka Tin (PT RBT) yang diwakili terdakwa pengusaha Harvey Moeis. Hakim heran PT Timah mengeluarkan surat perintah kerja (SPK) jasa borongan pengangkutan bijih timah sisa hasil pengolahan (SHP) ke PT RBT dan afiliasinya.

"Pada saat akan bekerja sama sama smelter itu apakah dikumpulkan nggak sama direktur bahwa kita kaji dulu bagaimana kerja samanya? Atau hanya diputus oleh direktur aja? direktur utamanya?" tanya hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (19/9/2024).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Untuk awal kerja samanya saya kurang tahu Yang Mulia, saya tidak tahu, hanya saja saat itu sekitar Juli atau Agustus pernah dari P2P ada Pak Dudi ada Pak Nono yang ke unit metalogi menanyakan terkait dengan proses biaya di unit metalogi berapa, terus recovery-nya berapa sama teknis peleburan yang lainnya tapi saya tidak mengetahui apakah itu nanti untuk kerja sama atau tidak, Yang Mulia," jawab Eko.

"Terus terhadap penunjukkan CV, CV yang terafiliasi dengan RBT itu kan diterbitkan SPK?" tanya hakim.

"Iya, Yang Mulia," jawab Eko.

Hakim mencecar Eko soal kenapa PT Timah tak membuka kerja sama terkait pengumpulan bijih timah itu dilakukan dengan sistem memenangkan tender. Sebab, kata hakim, PT RBT dan tiga perusahaan afiliasinya merupakan pesaing PT Timah namun justru diberikan penerbitan SPK.

"Kenapa? Ada tidak dikaji bahwa dicari, ini dibuka untuk umum nggak seperti tender? Ini kan perusahaan ini kan punya negara. Dibuka tidak? Artinya perusahaan bisa juga yang selain yang terafiliasi itu tadi bisa mendaftarkan diri menjadi CV yang diberikan SPK?" tanya hakim.

"Untuk SPK yang mengeluarkan dari unit penambangan Yang Mulia, saya tidak ikut dalam pengeluaran SPK, di unit penambangan Direktorat Bangka, SPK-nya sedangkan saya tidak ikut menerbitkan SPK untuk bijih, Yang Mulia," jawab Eko.

"Ini kan perusahaan RBT kan kompetitor dari PT timah?" tanya hakim.

"Iya, Yang Mulia," jawab Eko.

Hakim heran PT Timah tak menerbitkan SPK ke perusahaan pengumpul bijih timah yang masih netral bukan ke perusahaan pesaing. Menjawab itu, Eko mengaku tak tahu terkait penunjukkan perusahaan yang akan diterbitkan SPK tersebut.

"Mereka punya CV, CV yang terafiliasi, sedangkan yang memberikan SPK PT Timah. Kan begitu, kan artinya orang sana yang diberi juga yang saingan sama kita, kita beri SPK. Kenapa nggak cari CV lain yang netral yang justru mencari mengumpulkan timah itu untuk PT Timah, kalau ke sana kan lucu kesannya kan, persaingan tapi kita memberikan peluang," kata hakim.

"Izin yang itu saya tidak tahu, Yang Mulia. Setahu saya memang ada permohonan untuk penerbitan SPK, setahu saya hanya itu saja Yang Mulia dari CV-nya ke unit penambangan, Yang Mulia," jawab Eko.

"CV,CV tadi langsung ke penambang-penambang itu?" tanya hakim.

"Iya, Yang Mulia," jawab Eko.

"Siapa yang ngontrol di situ, bagian mana?" tanya hakim.

"Kalau kontrolnya di unit penambangan seperti tempatnya Pak Tarmizi sebagai pengawas penambangan, Yang Mulia," jawab Eko.

Duduk sebagai terdakwa dalam sidang ini adalah Harvey Moeis yang mewakili PT Refined Bangka Tin (PT RBT), Suparta selaku Direktur Utama PT RBT sejak tahun 2018, dan Reza Andriansyah selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT sejak tahun 2017.

Berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun. Perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.

Kerugian negara yang dibeberkan jaksa meliputi kerugian negara atas kerja sama penyewaan alat hingga pembayaran bijih timah yang sebenarnya berasal dari penambang ilegal di wilayah izin usaha PT Timah. Jaksa juga membeberkan kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan nilainya mencapai Rp 271 triliun berdasarkan hitungan ahli lingkungan hidup.

(mib/whn)

Read Entire Article